Peristiwa Peniwen
Mungkin sebagian orang masih belum mengetahui keberadaan Monumen Peniwen Affair dan catatan sejarah Palang Merah di Malang. Monumen Peniwen Affair berada di ujung Desa Peniwen, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang. Monumen Peniwen Affair merupakan satu-satunya monumen Palang Merah Remaja (PMR) di Indonesia dan satu dari dua monumen Palang Merah yang diakui secara internasional. Monumen Peniwen didirikan untuk mengenang jasa 12 anggota PMR serta beberapa anggota masyarakat Peniwen yang terbunuh saat agresi militer Belanda kedua pada 19 Februari 1949. Sebagian besar PMR yang merupakan pemuda desa setempat tersebut saat itu sedang merawat para pasien di RS Panti Husada. Pembangunan monumen ini diprakarsai oleh Bupati Malang, Edy Slamet, dan dananya berasal dari AMPI, masyarakat Peniwen, dan Bupati Edy sendiri. Peletakan batu pertama dilaksanakan pada 11 Agustus 1983 oleh Bupati Edy Slamet dan peresmian Monumen Peniwen Affair oleh Pengurus Besar PMI, Marsekal Muda Dr. Sutojo Sumadimedja pada 10 November 1983. Di lokasi tempat di mana gugurnya 12 anggota PMR itu, pada 15 Januari 2011 diresmikan menjadi Jl. PMR oleh Ketua PMI Pusat H. Jusuf Kalla.
Monumen Peniwen Affair menjadi saksi bisu kekejian penjajah pada era perang kemerdekaan, sekaligus ikut menentukan penghentian Agresi Militer Belanda II di Indonesia. Menurut sejarah, Pendeta Martodipuro mengadukan peristiwa tersebut ke dunia internasional. Akibat pengaduan tersebut, WCC mengutus 5 wakilnya untuk mengecek kebenarannya dan ternyata terbukti kebenarannya. Akhirnya, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Peniwen Affair yang merekam kejahatan perang Belanda terhadap Palang Merah, juga mendapat pengakuan dari PBB. UNESCO mengakui bahwa Peniwen Affair adalah warisan sejarah dunia dari era perang dunia. Di dekat monumen terdapat beberapa makam dari para korban Peniwen Affair tersebut. Di monumen tertulis nama-nama pejuang yang gugur dalam peristiwa Peniwen yaitu Slamet Ponidjo Inswihardjo, JW Paindong, Suyono Inswihardjo, Wiyarno, Roby Andris, Kodori, Matsaid, Said, Sowan, Sugiyanto, Nakrowi, dan Soedono. Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer II dengan menyerang daerah-daerah yang masih dikuasai Republik Indonesia. Para pejuang yang tergabung dalam TNI dan kelaskaran pun kemudian menyusup ke daerah kantong Belanda dan mengadakan perang gerilya. Pasukan Belanda pun sering terjadi kontak senjata dengan TNI dan kelaskaran tersebut. Pada pertengahan Februari 1949, Belanda mulai memasuki Peniwen dan menghujani Peniwen dengan peluru-peluru dan meriam. Mereka berdalih sedang mencari seorang pemberontak yang disembunyikan di Peniwen. Tepat tanggal 19 Februari 1949 pukul 2 siang, tentara-tentara KNIL memasuki Rumah Pengobatan Panti Husodho (sekarang digunakan sebagai SD Peniwen), sebuah rumah sakit yang digunakan untuk merawat korban peperangan dan warga yang sakit. Tentara KNIL mengobrak-abrik balai pengobatan PMR dan memaksa semua penghuninya keluar. Selain itu, tentara KNIL merampas obat-obatan serta menghancurkan papan nama PMR. KNIL yang umumnya adalah masyarakat pribumi dalam ketentaraan Belanda, datang untuk memburu anggota gerilyawan, sekaligus menebar teror di Desa Peniwen. Para pelajar yang saat itu bertugas sebagai relawan (sekarang PMR) diperintahkan berjongkok berderet di depan balai pengobatan. Lalu, seluruh tangan mereka diikat dengan kabel dan dirangkai menjadi satu. Namun, karena kurang panjang, kabel tidak bisa mengikat beberapa anggota PMR dan warga. Mereka disuruh berlutut dengan posisi kepala di tanah sambil meletakkan tangan di kepala. Setelah puas merusak balai pengobatan, para KNIL memisahkan tawanan. Tahanan perempuan yang tak terikat kabel, dibawa menjauh dari tawanan pria. Tahanan wanita tidak dieksekusi, namun diperkosa oleh para KNIL. Para tahanan pria yang tangannya tak diikat kabel, dieksekusi satu persatu dan ditembak dari jarak dekat. Seorang gerilyawan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) bernama Kasman, yang masuk dalam barisan yang hendak dieksekusi, berhasil melarikan diri. Namun, dia ditembak di perut dan pelipis. Dalam keadaan sekarat, tentara pelajar ini berlari menuju kediaman Inswihardjo, ayah dari kedua PMR yang gugur. Peristiwa pembantaian relawan PMR di Desa Peniwen ini memancing reaksi pihak gereja Peniwen yang saat itu sudah berdiri di tengah desa. Lalu DS Martodipuro mengirim surat protes dan keberatan atas pembantaian dan kekejian terhadap warga sipil serta PMR kepada jaringan gereja Jawa Timur. Surat itu juga ditembuskan ke gereja tingkat nasional, serta dunia. Akibat surat protes itu, Belanda menjadikan gereja sebagai sasaran. Setelah peristiwa 19 Februari 1949, Belanda mengerahkan kekuatan artilerinya, untuk membombardir Peniwen, khususnya gereja. Belanda yang saat itu mulai ditekan oleh dunia internasional, menghantam desa dan gereja dengan peluru-peluru artileri. Konon, ada sembilan peluru artileri yang diarahkan kepada gereja. Namun, pihak Belanda gagal ‘membalas dendam’ pada Ds Martodipuro yang menjadi tokoh utama pengirim surat protes kepada masyarakat internasional atas kejahatan perang yang terjadi di Peniwen. Seluruh peluru artileri meleset dan mengenai area belakang gereja. Beberapa waktu setelah surat protes dari gereja soal pembantaian PMR diberitahukan kepada masyarakat internasional, Belanda makin berang. Dimulailah propaganda sekaligus pembelokan opini lewat media-media lokal Malang saat itu. Belanda mempropagandakan bahwa telah terjadi tembak menembak antara pihak Belanda dengan gerilyawan. Padahal, kenyataannya Belanda membunuh anggota Palang Merah secara kejam. Begitu surat yang menceritakan pembantaian PMR ini terdengar hingga pelosok dunia, kecaman datang dari negara-negara luar negeri. Surat ini membuat Peniwen dan Indonesia mendapat dukungan dari Perancis, Swiss, Argentina, Jerman hingga Inggris. Negara-negara dunia menekan dan memaksa Belanda untuk menghentikan agresinya. Dalam konvensi Jenewa tahun 1949, anggota Palang Merah masuk dalam kategori yang tak boleh diserang. Praktis, Belanda melanggar konvensi dan secara resmi telah melakukan kejahatan perang. Setelah peristiwa ini, Belanda sedikit demi sedikit mulai mundur dari wilayah Peniwen. Sebab, Belanda akhirnya menandatangani Perjanjian Roem-Royen pada Mei 1949. Perjanjian inilah yang mengakhiri agresi militer kedua Belanda ke Indonesia. Untuk mengenang kejadian itu, warga bersama Palang Merah Indonesia mendirikan sebuah monumen yang dinamakan Monumen Peniwen Affair. Mereka yang meninggal dalam tragedi tersebut kini dimakamkan tepat di depan monumen. Dan untuk menghargai jasa mereka, setiap malam tanggal 19 Februari selalu dilaksanakan serangkaian apel suci yang diikuti oleh warga, relawan dan anggota Palang Merah lainnya. Begitu juga pada setiap malam tanggal 16 Agustus, warga Desa Peniwen berkumpul di monumen Peniwen Affair untuk mengheningkan cipta mengingat perjuangan ketika Belanda menyerang Desa Peniwen tahun 1949. (Dirangkum dari berbagai sumber) |
|
- Home
- Prasejarah Indonesia
-
Sejarah Kerajaan Indonesia
- Kerajaan Kutai
- Kerajaan Tarumanagara
- Kerajaan Kalingga
- Kerajaan Sriwijaya
- Kerajaan Mataram Kuno
- Kerajaan Kahuripan
- Kerajaan Kediri
- Kerajaan Singasari
- Kerajaan Majapahit
- Kerajaan Pajajaran
- Kerajaan Samudra Pasai
- Kerajaan Demak
- Kerajaan Pajang
- Kerajaan Kanjuruhan
- Kerajaan Mataram Islam
- Kerajaan Banten
- Sejarah Nasional Indonesia
- Budaya Nusantara
- Tempat Bersejarah
- Sepenggal Kisah
- Biografi Singkat