• Home
  • Prasejarah Indonesia
    • Paleolitikum >
      • Ciri Zaman Paleolitikum
      • Alat Zaman Paleolitikum
    • Neolitikum >
      • Alat Zaman Neolitikum
    • Megalitikum >
      • Ciri Zaman Megalitikum
  • Sejarah Kerajaan Indonesia
    • Kerajaan Kutai
    • Kerajaan Tarumanagara
    • Kerajaan Kalingga
    • Kerajaan Sriwijaya
    • Kerajaan Mataram Kuno
    • Kerajaan Kahuripan
    • Kerajaan Kediri
    • Kerajaan Singasari
    • Kerajaan Majapahit
    • Kerajaan Pajajaran
    • Kerajaan Samudra Pasai
    • Kerajaan Demak
    • Kerajaan Pajang
    • Kerajaan Kanjuruhan
    • Kerajaan Mataram Islam
    • Kerajaan Banten
  • Sejarah Nasional Indonesia
    • Era Kolonialisme / Penjajahan >
      • Portugis
      • Inggris
      • Belanda
      • Jepang
    • Era Perjuangan Kedaerahan >
      • Perang Maluku
      • Perang Palembang
      • Perang Padri
      • Perang Diponegoro
      • Perang Bali
      • Perang Banjar
      • Perang Aceh
    • Era Kebangkitan Nasional >
      • Boedi Oetomo
      • Sumpah Pemoeda
  • Budaya Nusantara
    • Wayang >
      • Ramayana
      • Mahabharata
      • Bharatayudha
      • Abimanyu
      • Wisanggeni
    • Batik
  • Tempat Bersejarah
    • Candi >
      • Candi Badut
      • Candi Jago
      • Candi Kidal
      • Candi Singasari
  • Sepenggal Kisah
    • Pembantaian Westerling
    • Pesawat RI Pertama
    • Bandoeng Laoetan Api
    • Peristiwa Peniwen
  • Biografi Singkat
    • Hamid Roesdi
    • Bung Tomo
    • Margonda

Kerajaan Kalingga

    Kalingga (Ho-Ling) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah. Kerajaan Kalingga memiliki pertalian dengan Kerajaan Galuh. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya. Putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh.

    Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

    Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

    Keterangan tentang Kerajaan Kalingga (Ho-ling) didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanegara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.

Prasasti Peninggalan Kerajaan Kalingga

    Prasasti peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di Desa Dakwu daerah Grobogan, Purwodadi di lereng Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.
Picture
Prasasti Tukmas
    Sementara di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ditemukan Prasasti Sojomerto. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
Picture
Prasasti Sojomerto

Bahan prasasti ini adalah batu andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm.
Tulisannya terdiri dari 11 baris yang sebagian barisnya rusak terkikis usia.

Teks prasasti Alih aksara prasasti:

  1. ... – ryayon çrî sata ...
  2. ... _ â kotî
  3. ... namah ççîvaya
  4. bhatâra parameçva
  5. ra sarvva daiva ku samvah hiya
  6. – mih inan –is-ânda dapû
  7. nta selendra namah santanû
  8. namânda bâpanda bhadravati
  9. namanda ayanda sampûla
  10. namanda vininda selendra namah
  11. mamâgappâsar lempewângih

Penafsiran prasasti Terjemahan inskripsi yang terbaca:

Sembah kepada Siwa Bhatara Paramecwara dan semua dewa-dewa... dari yang mulia Dapunta SelendraSantanu adalah nama bapaknya, Bhadrawati adalah nama ibunya, Sampula adalah nama bininya dari yang mulia Selendra.

Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.
print this page
Powered by Create your own unique website with customizable templates.